Indoriddle

Semiramis


Tersembunyi di antara cahaya rembulan, tubuhku yang telah mati.
Tertinggal dalam kenangan, yang telah kutinggalkan sekian tahun lamanya.
Aku adalah terdakwa—yang disalahkan—menderita dalam kehampaan.
Haruskah, aku kembali menuntut apa yang belum usai?
Ataukah … membiarkan segalanya terjadi menurut hukum alam?

***

“Steve, apa yang kaulakukan? Kenapa kau merenung di depan teras?” Seorang wanita tua, mengenakan sebuah kacamata baca, dengan syal yang tersampir secara acak di leher, baju dress panjang yang telah ketinggalan jaman berwarna cokelat-krem—berjalan mendekati pemuda yang bernama Steve, ia sedang diam, duduk dengan pikiran yang menerawang jauh entah ke mana. Wanita tua itu menyentuh pundak Steve pelan, tak ingin membuat gerakan yang mengejutkan.

Steve menoleh perlahan, kedua tatapan matanya kosong. “Ada yang kupikirkan, tapi hanya terbayang samar-samar. Aku seperti mengenalnya, ya, sangat mengenalnya.”

“Siapa yang kaumaksud, Steve?”

“Gadis perawat yang mengunjungi Nenek, beberapa saat yang lalu.” Steve mengubah posisi duduknya, ia mendekap kedua kakinya, yang dirapatkan ke dada. “Wajahnya tak asing. Apa aku pernah melihatnya, Nek?”

Wanita tua yang dipanggil nenek oleh Steve pun menggeleng, ia masih tak paham siapa yang dimaksud Steve. “Maksudmu … Semiramis? Ia bukan—“

“Ya, gadis itu. Wajahnya selalu dingin setiap menatapku, tak pernah ramah. Apa karena aku sering mengunjungi Nenek, maka dari itu ia tak menyukaiku? Apa aku mengganggu?”

Wanita itu menarik napas dalam-dalam, kemudian diembuskan perlahan, terdengar berat. “Steve, ikut Nenek, temani Nenek di dalam kamar, kita akan bercakap-cakap. Kurasa, kau menyukai Serafina. Gadis itu tak seperti yang kaupikir, ia gadis yang baik. Orang-orang tua renta di sini menyukainya. Ayo, temani Nenek di dalam.” Wanita tua itu menarik tangan Steve, menyuruhnya berdiri kemudian menggandeng tangan Steve. Ia berjalan sedikit tertatih, seulas senyum mewarnai bibir yang terlapis gincu merah dan sedikit keriput. Keduanya berjalan ke arah kamar wanita tua yang dipanggil nenek oleh Steve.

***

“Ayah, apa yang sedang kaupikir? Waktunya makan, perawat membawakanmu makanan, kau harus makan setelah itu minum obatmu.” Seorang gadis berusia 20 tahunan sedang berdiri di tepi tempat tidur seorang lelaki paruh baya. Lelaki itu bergeming, tak mengatakan sepatah kata apapun. Kedua matanya lurus menatap tajam ke depan. “Lukisan itu? Ayah masih menyimpannya? Sudah berapa kali kukatakan untuk membuang lukisan itu, Ayah. Apa kau mendengarku?”

Lelaki paruh baya itu tiba-tiba tersenyum, ekor matanya menatap tajam ke arah gadis itu. Dengan suara beratnya, perlahan ia mulai berbicara, “Ia mencintaiku, seperti aku yang selalu mencintainya. Kau … tak berhak berkata seperti itu! Aku sangat mengenalnya, ia … tak pernah meninggalkanku, seperti ibumu!”

“Ta-tapi … Ayah, ia—“

“Ssshhht, jangan keras-keras, ia akan mendengarnya dan marah padamu jika tahu kau tidak menyukainya. Aku suka tatapan matanya, dingin, tapi menggairahkan. Membuatku darahku bergejolak, dan gairahku memuncak, ia memang tak ada duanya.” Pria itu turun dari ranjang, berjalan perlahan, mendekati sebuah lukisan usang yang sudah hampir pudar catnya di beberapa bagian—bergambar seorang wanita berambut pirang, bermata biru, dengan bibirnya yang merah menyala. Pria itu mengangkat lukisan tersebut, melepaskan dari gantungan di dinding, kemudian mendekapnya seolah memeluk seorang kekasih yang sudah lama tak bertemu. Ia berputar, berputar, dan berputar menarikan tarian waltz.

***

Semenjak terakhir Steve datang mengunjungi nenek, pikirannya lekat oleh bayangan Semiramis yang menari-nari di dalam otaknya. Ia tertantang untuk mendekati Semiramis, ia ingin memilikinya, dengan cara apapun. Meski gadis itu terlihat dingin dimatanya, hal itu membuatnya bergairah. 

Steve mencari berbagai alasan untuk mengunjungi nenek setiap hari, membawakan pakaian, makanan kecil, atau hanya sekedar rasa rindu—ungkapan palsu yang dinyatakan—demi melihat Semiramis.

Hari itu ia melihat Semiramis sedang membawakan sebuah baki berisi makanan, Steve menghampirinya dan menyapa dengan sopan. Gadis itu memang terlihat cantik, menawan, dengan balutan pakaian putih-putih yang terbalut ketat di tubuhnya.

“Semira!” panggil Steve. Serafina menghentikan langkahnya, ia menoleh dan menatap Steve dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Apa aku mengenalmu?” tanya Semiramis lembut. Ah, suara gadis itu tak sedingin raut wajahnya. 

“Tidak, kau tidak mengenalku. Aku adalah cucu dari Tatia, salah satu penghuni rumah jompo ini. Maaf, mungkin kau tidak berkenan berbicara dengan orang asing sepertiku.” Steve terlihat gugup, kedua bola matanya bergerak-gerak, ia merasa canggung berhadapan dengan gadis yang baru saja dikenalnya, oh, bahkan belum mengenal secara resmi. 

“Ah, ya aku tahu Tatia. Ada apa?” tanya Semiramis seraya melukiskan sesungging senyum di bibirnya. Ya, ya, ia tak sedingin yang dipikirkan Steve sebelumnya. Ia mau menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang ditanyakan dengan sabar dan ramah. “Hey, kenapa diam?” 

Ia tak tahu apa yang harus dikatakan, wajah gadis itu membuat Steve diam tak berkutik, ditilik dari dekat, wajah gadis itu terlihat seperti malaikat yang baru saja turun dari surga. Steve menundukkan wajahnya, kemudian menjawab dengan suara yang sangat pelan, serupa gumaman. “Mau makan malam denganku?” tanya Steve. Ragu.

Gadis itu tersenyum manis, semanis secangkir latte beraroma coklat. “Ya, kenapa tidak. Malam ini aku pulang cepat. Tunggu aku, kita akan pergi keluar setelahnya. Kuharap, Tatia tak akan marah melihatmu jalan bersamaku, karena cucunya pergi bersama perawatnya. Aku lanjutkan pekerjaanku dulu, sampai nanti.” Semiramis melenggang, sekali ia menoleh dan mengedipkan sebelah matanya pada Steve.

Ia mungkin jatuh hati, ya, terlalu cepat memang. Tetapi … bukankah perasaan itu selalu dating secara tiba-tiba tanpa dapat dicegah? Entahlah, mungkin ia sudah gila, tapi itu yang dirasakannya. Ia menyukai gadis itu, sangat menyukainya. 

Steve berjalan melangkah keluar dan menuju lobi sambil menonton televisi bersama beberapa orang-orang jompo yang sedang bercengkrama. Ia menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya.

***

“Sudah hampir 6 tahun ia berada di tempat ini, bukannya semakin betul jalan pemikirannya, tapi justru semakin kacau. Anaknya sendiri mungkin sudah lelah menasehatinya.” Seorang wanita tua sedang bercakap-cakap dengan gadis muda berpakaian perawat yang berdiri di samping mejanya. Ia memainkan sebuah bullpen di sela-sela jarinya.

“Anaknya ingin membakar lukisan itu, ia bilang … lukisan itu adalah pembawa sial. Ayahnya membunuh ibunya, hanya gara-gara lukisan itu. Bahkan Dok, aku sendiri agak takut menghadapi pasien satu itu. Setiap aku masuk ke dalam kamarnya untuk memberikan obat-obatan yang harus diminum, ia akan menatapku tanpa berkedip sama sekali, lalu akan menyamakan wajahku dengan wajah di lukisan tersebut. Aku hanya takut jika ia melukaiku seperti ia tega menyakiti almarhum isterinya semasa hidup.” Gadis berpakaian perawat itu melepas gelungan rambutnya dan merapikannya kembali.”

Wanita tua yang duduk di kursi tepat di depannya, mengenakan jubah putih—adalah seorang dokter berpengalaman yang telah bertugas di pusat karantina kejiwaan, lebih tepatnya rumah sakit jiwa. Entah berapa kasus dari penderita kejiwaan yang telah ia selesaikan, menguak masa lalu, trauma, dan rata-rata memiliki kesamaan. Tapi yang satu ini, sangat langka. Hanya karena sebuah lukisan, pria itu mampu membunuh istri dan kedua orangtuanya, kebetulan saat itu anak gadisnya sedang tak berada di rumah sehingga ia pun selamat dari kejadian naas tersebut. “Anehnya, lukisan itu tak seutuhnya terbakar, hanya sedikit pudar. Padahal, saat pria itu membakar rumah miliknya dengan istri serta kedua orangtuanya yang masih berada di dalam rumah, lukisan itupun tertinggal di dalam. Setelah seisi rumah dan banguna kandas, lukisan itu berada di tumpukan puing-puing dalam keadaan utuh. Jujur saja, aku sering bergidik menatap lukisan itu. Seolah-olah hidup.” Dokter wanita itu mengedikkan bahunya, sepintas ia merasakan hawa dingin mengusap tengkuk lehernya. “Apa kau merasakannya?”

“Ya, sepertinya … ada sesuatu. Permisi, Dok. Sebaiknya aku kembali ke ruang jaga, takut ada pasien yang membutuhkanku,” jawab gadis perawat itu. Ia buru-buru meninggalkan ruangan dokter dan berjalan dengan cepat menuju ruang jaga.

***

“Steve, kau tak bisa mencintai gadis lain, meski Serafina gadis yang baik, tapi—“

“Nek, sudah! Aku mencintai Semira, aku akan meninggalkan Dana, untuk bersama Semira, aku tak peduli siapapun yang menentang kami! Semira mencintaiku, ia mengatakannya padaku kemarin!”

“Steve, sadar! Semiramis, ia—“

“Cukup, Nek. Aku menginginkannya, tak ada yang bisa mencegahku. Hubunganku dengan Semiramis memang hanya baru tiga bulan, tapi … aku mencintainya lebih dari Dana. Tak ada yang bisa melarangku, kau, Dana, atau—“

“Ayah ….” Tiba-tiba seorang gadis kecil muncul di samping Steve, entah darimana datangnya, membuat Steve bingung dan terheran-heran. “Kau—“

“Ayah, ada apa?” ujar gadis kecil itu lagi dengan suara lirih.

***

“Ayah! Ayah! Bangun!”

Gadis itu berteriak melihat tubuh pria paruh baya—ayahnya—yang berada di atas tempat tidur mengejang. Gadis itu mendekati pria itu dan mengguncang kedua bahu ayahnya. 

“Aaakkhhh …,” ujar pria itu terpatah-patah dengan kedua bola mata terbelalak lebar. Gadis itu menekan sebuah bel yang terhubung ke arah ruang jaga para perawat.

“Ayah, sadar!”

Bel di ruang jaga berbunyi, gadis perawat yang belum lama berbincang dengan dokter kemudian berlari-lari kecil, bergegas menuju ruangan yang membutuhkan bantuannya. 

“Ada apa?”

“Tolong, Suster. Ayah sepertinya sulit bernapas, tubuhnya … kau lihat sendiri, ia terus seperti orang kejang-kejang, kedua matanya—“

“Tuan Steve, sadar!” Gadis perawat itu mendekati Steve—pria paruh baya yang sedang menghadapi kritis. “Jaga ayahmu sebentar, aku akan memanggil Dokter Tatia untuk menanganinya!”

“I-iya.”

Steve terlihat ketakutan, tak ada seorangpun yang dapat melihat apa yang saat ini dialaminya. Seorang wanita berambut pirang dan panjang, berada di atas tubuhnya dengan kedua tangan yang mencekik erat leher Steve. Kedua matanya menghitam menyisakan celak kosong berongga tanpa kedua bola mata, wanita itu tersenyum sambil terus mempererat cekikan di leher Steve. ‘Bukankah, kau ingin selalu bersamaku? Bukankah kau selalu bermimpi untuk bisa bersamaku, Sayang? Kau telah mengorbankan segalanya demi aku.’

“Ti-ti …,” ujar Steve tak jelas terpatah-patah.

“Ayah, bertahanlah. Kumohon …. Dokter akan segera datang.”

‘Aku hidup dari imajinasimu, kau yang membangkitkanku dari kegelapan. Ikutlah denganku …’

“Se-Semira ….”

“Apa? Apa yang Ayah ucapkan?”

Wanita tak kasat mata itu berhasil membuat Steve mengembuskan napas terakhir, ia tersenyum puas. Steve telah membuatnya menjadi nyata karena rasa cintanya yang berlebih pada sebuah lukisan yang didapatnya dari rumah lelang beberapa puluh tahun yang lalu. Lukisan itu adalah sebuah lukisan pada tahun 1890, lukisan dari salah seorang pelukis yang mati bunuh diri karena depresi—akibat mencintai wanita di dalam lukisan tersebut yang tak bisa didapatkannya di alam nyata. Kecantikan yang tiada tara, menghipnotis jiwa-jiwa nyata untuk mengabdi bersamanya, selamanya. Lukisan itu diberinya nama; SEMIRAMIS—Ratu Babylonia—symbol wanita iblis.

Writer : Ana Sue | Sumber | Indoriddle

Related Posts:

0 Response to "Semiramis"

Post a Comment

Silahkan Berkomentar Sesuai Dengan Topik Diatas :)