Indoriddle

Berturut-turut

Aku sering membayangkan adikku meninggal. Adik satu-satunya yang kupunya. Yang mei kemarin umurnya bertambah satu, jadi delapan. Aku sering berkhayal tentangnya yang diculik psikopat. Di’bully’ kakak kelasny
a hingga mati. Bahkan aku sering membayangkan dia terjatuh dari tangga menuju kamarku. Tapi, yah semua itu hanya harapan. Tidak ada pernah jadi kenyataan. Padahal dalam tiap doaku pada tuhan, aku memohon agar adik laki-lakiku itu mati.

Kalau kutelusuri kejadian sejak awal, sebenarnya tidak ada tanda-tanda aneh ketika dia lahir. Entah itu perang dunia ketiga meletus, bumi kejatuhan meteorid raksasa atau gunung krakatau meletus lagi. Tidak, semua berlalu biasa saja. Bocah itu lahir di rumah sakit. Aku menungguinya dilobi. Lalu beberapa saat kemudian, ayah keluar, dia bertanya padaku “Sebaiknya diberi nama siapa?”. Aku kagum dengan kelucuannya waktu itu, jadi aku ikut mengusulkan nama. Aku tidak menyangka sekarang bocah itu malah jadi penggangguku. Akhirnya ayah dan ibu memberinya nama, michael. Kata mereka penyebutannya hampir mirip dengan malaikat mikail, si pembawa rezeki.

Anak itu tumbuh dan tumbuh. Dia benar-benar pembawa keberuntungan dan rezeki. Sejak ada dia, ayah selalu mendapat promosi dikantornya, ibu sering menang kuis ditelevisi. Tapi aku tidak dapat apa-apa. Aku hanya semakin sering diabaikan. Aku sadar jika telah dewasa, hanya saja, mereka harusnya tahu jika aku juga butuh kasih sayang.

Tadi pagi adalah sebuah kejutan. Bus kuning berhenti didepan halte sebrang rumah kami. Michael keluar dari situ. Menyebrang jalan dengan senyum tersungging diwajah polosnya. Dia melambai padaku yang memperhatikannya dari jendela –aku mengabaikannya. Tiba-tiba sebuah sedan menabraknya. Michael terpental menuju pekarangan rumah tetanggaku. Aku terperangah. Tenggorokku masih tercekat ketika memberi tahu ibu. Dia berlari keluar rumah. Sedan merah itu melaju pergi.

Aku keluar rumah untuk menyusul ibu. Sudah banyak kerumunan orang saat itu, tapi salah seorang tetanggaku menyuruhku menghubungi ayah dan menyuruhnya segera pulang. Aku melihatnya dari celah kerumunan. Tangis ibu untuk anak itu benar-benar menjadi. Air matanya berjatuhan menimpa tubuh michael yang bersimbah darah dan tak lagi bernyawa.

Siang itu rumah kami ramai. Michael telah dimandi dan dikafankan. Aku mengiringinya menuju masjid untuk di shalati. Perasaanku masih campur aduk. Antara lega dan menyesal. Aku tidak bisa mengeluarkan butir-butir airmata seperti ayah dan ibuku, tapi aku juga merasa kehilangannya. Selesai menshalati, kami langsung menuju pemakaman. Saat itu sudah sore. Diperjalanan menuju makam, aku melihat beberapa burung gagak, tapi hewan-hewan itu tidak berkoak. Hanya memandangiku, terus memandangiku, seolah dia mengatakan jika ini kesalahanku.

Ibu tidak ikut melihat michael dimakamkan. Hanya ayah. Dia masuk ke liang lahat lalu mengumandangkan adzan. Setelah itu mereka mulai menguburkannya, menginjak-injak tanahnya supaya pekat. Kemudian kami semua berdoa untuknya. Perasaanku masih campur aduk. Sebab tidak ada satupun orang yang tampak senang dengan kematian michael. Semua warga pergi, hanya beberapa yang tersisa dan kesemuanya adalah saudara keluarga kami. Mereka masih berusaha menenangkan ayah yang masih menangisi kepergian michael.

Hari itu berlalu. Lalu sampailah pada empat puluh hari kemudian, kami kembali mengadakan doa bersama, sebagai adat istiadat islam. Wajah ayah sudah benar-benar tegar, tapi tidak dengan ibu. Airmata terus bercucuran sementara dia membaca yasin. Setelah hari itu kukira akan beranjak baik. Kukira aku bakal semakin diperhatikan, kukira mereka akan perduli padaku, ternyata tidak.

Setiap aku pulang bekerja, ibu hanya termanggu didepan jendela. Memandangi halte tempat biasanya michael keluar dari bus. Dia sering tidak masak, bersih-bersih rumah ataupun mematikan barang-barang elektronik yang habis dipakainya. Alhasil, aku dan ayah benar-benar bekerja keras untuk mengurus pekerjaan yang ibu telantarkan. Sekali waktu ayah pernah mengajak ibu ke suatu tempat. Dia ingin membawa ibu ke psikiater. Tapi ibu tidak mau dan menolak terus-terusan. Semakin lama sifatnya makin keras kepala dan seperti anak-anak. Dia hanya mau makan jika didepan jendela, mau minum jika didepan jendela bahkan mandipun didepan jendela. Dia selalu bergumam, jika michael pasti pulang. Dia selalu menunggunya, selalu menitikan airmata, selalu bergumam sendiri. Sejak itu aku yakin, ibuku yang lama telah benar-benar pergi.

Suatu malam aku pulang bekerja. Aku lega sebab ibu tidak lagi didepan jendela. Kebetulan minggu itu ayah sedang keluar kota. Jadi aku yang mengurusi ibu tiap sepulang kerja. Seluruh televisi mati, begitupun lampu-lampu. Sedikit cahaya lampu jalan yang tembus dari jendela sedikit membantuku mencari sakelar lampu. Sepertinya hari ini ibu sudah ada peningkatan. Kutekan sakelar lampu. Aku terjatuh duduk, suaraku tercekat. Dikusen pintu dapur, seseorang menggantung –itu ibu. “Kenapa jadi begini?” aku berteriak histeris. Aku menurunkan jenazahnya dan menangis sejadi-jadinya. Sampai akhirnya para tetanggaku berdatangan dan menghubungi ayah.

Kami di pemakaman ibu. Wajah ayah tidak lagi tegar. Keriput-keriput wajahnya semakin tampak. Dia terduduk menjauhi kerumunan. Aku mengemban tugas untuk adzan dan menurunkan jenazah ibu ke liang. Setelah seluruh proses itu selesai. Kami kembali ke rumah. Tidak ada pembicaraan antara aku dan ayah. Para saudara memberi waktu untuk ayah menyendiri. Setelah para saudara kami pergi. Tak ada lagi yang bisa kuajak bicara.

Seharian ayah diam dikamarnya. Memandangi foto ibu dan michael. Beberapa minggu kemudian dia dipecat perusahaan, karena sudah absen lebih dari tiga minggu. Manajernya sendiri yang menghubungiku, sebab dia menghubungi ponsel ayah dan rumah, tak pernah diangkat. Aku sibuk setiap hari, terkadang kekasihku datang untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumahku. Ayahku yang tegar seperti sudah hilang. Seharian dia hanya menangis dan bergumam tak jelas. Bergumam tentang awan, halte, langit, tuhan, takdir, michael dan tentang ibu.

Ayah sering tertawa tiba-tiba dan tiba-tiba juga menangis. Berkali-kali aku mengajaknya pergi, dia selalu menolak. Seolah-olah tahu, jika aku akan membawanya ke rumah sakit jiwa, dia selalu meronta dan menolak. Aku sungguh tidak tega jika mesti menyuruh pihak rumah sakit untuk membawa ayah, jadi aku membiarkannya tetap dirumah.

Siang itu terik, aku melajukan mobilku ke pekarangan rumah. Sepintas kulihat seseorang dihalte. Aku memastikan, dan ternyata itu ayah. Kumatikan mesin mobil dan cepat-cepat keluar. Sebuah truk melaju didepan halte dan tepat saat itu ayah melompat ke hadapan truk itu. Tubuhnya terlindas dan beberapa bagiannya hancur. Aku tidak mau melihatnya. Air mataku kembali bercucuran. Setelah sekian lama, kenapa ini mesti terjadi lagi?.

Aku dipemakaman ayah. Kupilih tempat yang jauh dari kerumunan. Agar aku bisa bergumam sendirian tanpa didengar siapapun. Kebanyakan aku bergumam tentang takdir atau tuhan yang tidak pernah adil. Sejak hari itu keadaan rumah semakin sepi. Aku sering menyalakan televisi, kipas angin dan radio sementara aku terduduk didepan jendela, menunggu michael pulang. Sering kulihat foto ibu dan ayah, lalu mulutnya bergerak dan berbicara padaku “Kamu tidak sendirian”, aku mengangguk mendengar ayah mengatakannya. Terkadang rasanya sangat senang ketika melihat michael turun dari bus dan melambai padaku. Tapi terkadang dadaku sakit sekali karena melihat ibu tergantung di kusen pintu.

Kekasihku semakin mengkhawatirkanku, dia sering membujukku pergi ke suatu tempat. Entah apa namanya, aku lupa. Kurasa tubuhku semakin berbau busuk. Yah, aku memang tidak pernah mandi. Aku hanya mau disini, menunggu michael pulang dari sekolahnya dan melambai padaku. Jika dia sudah sampai rumah, ingin sekali aku katakan jika aku menyayanginya.

Aku terkesiap, seseorang sepertinya mendobrak pintu rumahku. Derap langkah itu cepat dan suaranya berisik. Tiba-tiba mereka muncul. Orang-orang berpakaian putih-putih. Salah satunya langsung menutup hidung ketika melihatku. Orang-orang itu memaksaku keluar rumah. Mereka sangat kuat sehingga aku tidak bisa meronta. Mereka memasukanku ke ruangan berpintu putih. Dua orang berpaling pergi sementara tiga lainnya menemaniku disini. Mereka terus saja mengeluhkan tentang bau busukku. Tiba-tiba ruangan itu bergerak.

Awalnya aku mau menunggui ruangan ini sampai selesai bergerak, tapi aku keburu mengantuk. Aku terbangun, ruangan ini bukan seperti kamar atau bagian manapun dirumahku. Hanya ada sebuah kasur dan toilet, lalu dua buah ventilasi yang letaknya sangat tinggi. Didekatku bukanlah dinding, melainkan teralis. Aku bisa melihat seseorang yang sedang melamun sembari memegang bonekanya, berada pada ruangan didepanku.

Tiba-tiba terdengar derap langkah. Dan mereka datang –keluargaku. Ayah, ibu dan michael. Aku menyunggingkan senyum dan menghampiri mereka. “Akhirnya kalian pulang juga” aku amat gembira melihat mereka.

“Iya, kami sudah pulang. Sekarang sebaiknya kamu istirahat dulu ya” ayah tersenyum dan memegang pundakku. Aku lekas menuruti kata-katanya. Aku berbaring dikasur dan memperhatikan mereka bercapak-cakap.

Lalu aku tersadar, “bukankah kalian sudah mati?”.
“Iya kami sudah mati, ini hanya arwah kami saja” ibu dan ayah tersenyum padaku. Syukurlah kalau begitu, aku kira kalian belum mati.

“Jadi bu, apa kita belum bisa membawa kakak pulang?” michael menunjukku.
“Tidak nak, kau lihat, sekarang khayalan kakakmu semakin parah. Bahkan dia menganggap kita semua mati” ibu menggeleng dan memasang wajah memelasnya

Related Posts:

3 Responses to "Berturut-turut"

  1. Jadi dari awal cerita si aku ini memang sudah gila ya,,,? Haduuh

    ReplyDelete
  2. Wow '-'
    Jadi gada yg mati nih? Cuma khayalan?
    Njirr :v

    ReplyDelete
  3. Wow, ending ceritanya tidak terduga
    Nice post!

    ReplyDelete

Silahkan Berkomentar Sesuai Dengan Topik Diatas :)